Maritim Indonesia — Dalam mengatasi masalah lingkungan, International Maritime Organization (IMO) telah menargetkan untuk melakukan pengurangan emisi karbon dari kapal setidaknya 40 persen pada tahun 2030, dan mengurangi separuh total emisi gas rumah kaca pada tahun 2050.
Indonesia sebagai anggota IMO, memiliki posisi yang sangat strategis karena berada di jalur pelayaran internasional, sehingga Indonesia memiliki tanggung jawab yang besar untuk menciptakan pelayaran dan lingkungan laut yang lebih hijau dan berkelanjutan.
“Sebagai salah satu negara anggota IMO, Pemerintah Indonesia mendukung penerapan green shipping dengan menerbitkan sejumlah regulasi aksi mitigasi, diantaranya kewajiban penggunaan bahan bakar rendah sulfur, kewajiban penggunaan scrubber untuk kapal sebagai pembersih gas buang, peremajaan kapal, penggunaan alat bantu navigasi yang ramah lingkungan, dan kewajiban melaporkan konsumsi bahan bakar kapal untuk semua kapal berbendera Indonesia,” ungkap Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Capt. Antoni Arif Priadi pada Focus Group Discussion on Green Shipping and Energy Efficiency di Hotel Grand Mercure Kemayoran Jakarta, Kamis (11/1).
Sebagai informasi, Green Shipping merupakan proses penurunan penggunaan energi untuk menghasilkan emisi yang lebih rendah. Green Shipping bertujuan mengurangi pencemaran lingkungan laut dari konsumsi tinggi bahan bakar fosil pada sektor transportasi laut dan mendorong penggunaan energi ramah lingkungan.
“Sektor pelayaran internasional menyumbang sekitar dua hingga tiga persen dari emisi karbon/gas rumah kaca secara global. Untuk itu, semua pelaku industri maritim perlu berperan aktif dalam menurunkan emisi karbon (dekarbonisasi) di sektor pelayaran,” tambah Capt. Antoni.
Pemerintah, lanjutnya, juga tengah membangun infrastruktur maritim ramah lingkungan guna mendukung green shipping dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip Paris Agreement dalam pengurangan emisi gas rumah kaca serta mendukung terwujudnya pembangunan berkelanjutan.
Kementerian Perhubungan pun terus mendorong untuk meningkatkan kesadaran dan kolaborasi antar stakeholders dalam menciptakan inovasi untuk implementasi green shipping.
“Dengan sinergi yang baik antar pemangku kepentingan, diharapkan dapat mewujudkan industri perkapalan yang berkelanjutan demi melindungi lingkungan maritim untuk generasi mendatang,” tutup Antoni.
Solusi Tepat Wujudkan Green Shipping
Sebagai informasi, FGD ini menghadirkan sejumlah pejabat pemerintah dan pakar, diantaranya perwakilan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, PT Pertamina (Persero), Indonesian National Shipowners Association (INSA) dan PT Pelindo (Persero).
Dalam FGD tersebut juga dibahas upaya apa yang akan dilakukan kedepan guna mewujudkan green shipping, mengingat IMO Annex Vl telah diretifikasi oleh banyak negara, dan tentu diharapkan Indonesia juga akan meretifikasi IMO Annex Vl tersebut.
Dari FGD ini terlahir beberapa pembahasan wacana-wacana untuk mewujudkan green shipping di Indonesia, diantaranya adalah dengan menggunakan hibrit dengan baterey, namun opsi ini dinilai cukup mahal karena selain merubah system shaft propeller dari penggerak mesin ke penggerak motor, system ini juga masih tetap menggunakan generator.
Alternatif lain adalah bisa dengan mengganti bahan bakar kapal dengan LPG atau LNG, namun untuk saat ini, cara tersebut juga tidak memungkinkan dikarenakan belum adanya Rule Clasifikasi yang mengijinkan.
Opsi lain adalah penggunaan bahan bakar Low Sulphur. Penggunaan bahan bakar Low Sulphur ini merupakan salah satu upaya yang telah diterapkan oleh kapal-kapal milik Pertamina. Namun system ini juga dinilai belum sepenuhnya mampu mendukung terciptanya green shipping secara menyeluruh, mengingat harga bahan bakar tersebut relative lebih mahal. Terlebih lagi pertamina juga belum sepenuhnya memproduksi bahan bakar Low Sulphur ini.
Dalam diskusi tersebut hadir pula Alex dari Shanghai Manufacture yang memaparkan tentang bagaimana efisiensi pemasangan dan penggunaan Scrubber, yang bisa dijadikan sebagai salah satu alternatif dan solusi untuk mewujudkan penerapan Green Shipping di Indonesia. Dengan memasang Scrubber pada gas buang kapal bisa dijadikan opsi mengurangi emisi karbon, yang mana gas buang bisa langsung masuk ke Scrubble, dan kemudian terjadi proses penyaringan sehingga nanti sulphur yang keluar akan berkurang
“Alat ini sudah ada dan sudah diterapkan di beberapa negara, terutama negara-negara yang pemerintahannya telah mewajibkan penerapan program green shipping. Pada prinsipnya, gas buang akan masuk ke scrubber tersebut untuk menangkap sulphur dan menyaring, sehingga sulphur yang keluar akan berkurang,” jelas Alex.
Lebih jauh dijelaskan, bahwa pemakaian Scrubble ini bisa dipastikan jauh lebih hemat jika dibandingkan dengan pemakaian bahan bakar Low Sulphur atau opsi-opsi lain. Mengingat bahan bakar Low Sulphur lebih mahal sekitar Rp 3000 – 5000 per liter dbanding bahan bakar High Sulphur.
“Usia pemakaian Scrubber bisa lebih dari 10 tahun,” tambah Alex.
Kesimpulannya, dari beberapa alternatif tersebut, untuk sementara ini opsi yang dapat diterapkan di Indonesia adalah pemasangan Scrubber pada gas buang kapal dan penggunaan bahan bakar dengan Low Sulphur.
“Kita tinggal menunggu arahan-arahan konkrit dari pemerintah secepatnya, dalam hal ini Kementerian Perhubungan atas inplementasi IMO Competition Annex Vl ini, semoga tidak hànya wacana-wacana,” ujar salah satu peserta diskusi yang juga merupakan pemerhati Kemaritiman di Indonesia. (ire Djafar)